Langsung ke konten utama

Postingan

Generasi Langgas (Millenials), Startup, dan Ekosistem Wirausaha

Pada tahun 2017 ini saya membuka sebuah survey bagi Generasi Langgas (Millenials), yang kini masih berjalan, yaitu mengenai seberapa jauh kota-kota urban di Indonesia ramah terhadap aspirasi dan aktivitas millenials. Data-data awal atau preliminary results menunjukkan beberapa temuan yang menarik. Dalam salah satu bagian dari survey yang kita beri judul 'Most Nongkrongful Cities Survey', kita menanyakan 'Bagaimana keadaan lingkungan pendukung (ekosistem) kewirausahaan bagi kawula muda di kota kamu?" Motivasi saya menanyakan hal tersebut tentunya lantaran geliat wirausaha muda yang kini kian menguat, terutama di ranah digital atau startup. Di Indonesia sendiri sudah terdapat lebih dari 2000 startup, saat ini yang paling banyak diminati adalah dalam ranah transportasi, e-commerce, games, dan edukasi. Dengan fakta bahwa pengguna internet di Indonesia berjumlah lebih dari 70 juta manusia, daya tarik startup di Indonesia bagi para investor asing kian meluas. Terlep
Postingan terbaru

Pemuda Millenial dan Menurunnya Pamor Elit Sport

Pada banyak kesempatan saya kerap mendapatkan pertanyaan seputar mengapa generasi millenial rendah prestasinya dalam kancah olahraga? pertanyaan tersebut biasanya datang dari mereka yang berkecimpung di bidang pemerintahan begitu pula mereka yang aktif dalam bidang marketing. Saya perlu akui bahwa geliat kompetitif dari kalangan pemuda millenial sedikit berbeda. Diantara beberapa temuan yang saya peroleh dari penelusuran etnografis sejak tahun 2008 adalah: 1. Semakin sedikit pemuda yang bermain sepakbola di lapangan besar, namun di tempat lain pemuda yang aktif dalam kegiatan nobar sepakbola semakin banyak. 2. Komunitas pemuda semakin banyak namun kegiatan yang digeluti lebih terfokus pada hobby non kompetitif (kompetisi yang dimaksud disini berorientasi liga professional). 3. Street sports dan extreme sports menjadi kian populer, yaitu diantaranya skateboard, inline skate, dan bmx. 4.Social media menggeser makna prestasi dari perolehan medali ke perolehan jumlah follower dan

Keunikan Generasi Millenial Indonesia (Kolektivitas, Identitas, dan Media Sosial)

INDONESIAN YOUTH CULTURE: Kolektivisme,Identitas, dan Media Sosial Muhammad Faisal M.Si BAB 1 Kei, Seorang sahabat dari Jepang, pernah bertanya kepada saya pada sebuah pertemuan santai di sebuah Kafe di bilangan Sabang “Mengapa anak muda di negaramu selalu menggonta-ganti foto mereka di facebook dan bbm?”, saya balik bertanya “ada yang salah dengan hal itu?”. Kei lalu menyambut “Di Jepang saat ini anak muda menilai privasi dengan harga yang sangat mahal, bahkan mereka rela membeli sebuah avatar sebagai topeng untuk menutup wajah asli mereka!”. Pertemuan dengan Kei Shimada, seorang kawan ahli telekomunikasi dari Jepang tersebut meninggalkan sebuah pertanyaan hipotetis yang mendalam pada diri saya. Dimana, pertanyaan hipotetis tersebut apabila bisa terjawab dengan baik, maka akan dapat menjelaskan begitu banyak permasalahan seputar perilaku dan budaya anak muda millenial di Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya juga telah menjadi unek-unek dari kelompok generasi b

Masa Depan dan Potensi Segmen ‘Alay’

Sekitar lima tahun yang lalu muncul istilah baru di kalangan anak muda, yang terus menetap di benak masyarakat hingga sekarang yaitu istilah yang  ‘Alay’ . Kata  ‘Alay’ merupakan singkatan dari kata  ‘Anak layangan’ , sebuah istilah yang menurut saya sebenarnya lahir dari kelompok ekonomi menengah ke atas. Yaitu label bagi anak-anak dari kalangan sub-urban yang mencoba terlalu keras untuk mengikuti tren anak kota dari ekonomi kelas atas. Mereka, para ‘Alay’, sering berpenampilan dengan rambut dicat coklat atau merah, dari sanalah muncul asosiasi  ‘Alay’  dengan ‘ Anak layangan’. Secara demografis, segmen muda  ‘Alay’  merupakan segmen mayoritas. Sebab, kelompok ekonomi menengah kebawah sendiri berada di kisaran 70 persen dari total populasi Indonesia. Karakteristik mereka antara lain adalah mengenakan t - shirt bertuliskan kata-kata yang menarik perhatian, skinny jeans yang robek, rantai tergantung di celana, rambut pony panjang dengan tampilan basah, dan sepatu  ala ala  dogmart.

Indonesian Female Youth: Fashion, Beauty, and Bloggers

Approximately 20 years ago, the teens in Indonesia defined beauty and fashion through the cover of local magazine. Among the famous one are Gadis and Aneka magazine, a trends, fashion and lifestyle magazine that are considered as having authority in its domain. Ten years laters, MTV was on the national television, Cosmopolitan magazine were available at the street merchant, beauty concept was slightly different. To be ‘indie’, ‘masculine’ and ‘free’ is a major currency among Indonesian teens. Beauty then, was a bit deconstructed. Recently, beauty and fashion has it’s own reference. It’s now the era of the common people, the girl next door who put up online post on high heels and blazer could be considered also as a ‘fashionista’. Dian Sastro Phenomenon Who is Dian Sastro Wardoyo? She’s the Indonesian teen icon of two decades, from mid 90 to early millenium. She’s a cover girl contest winner for Gadis Magazine in 1996. Since then her face showed up in many brand ads as well as vide

Generasi Millenial Indonesia, Generasi Paling Religius?

Apa sebenarnya arti  keren  bagi seorang anak muda Indonesia? Tentunya dengan sangat mudah kita akan menjawab bahwa  keren  bermakna ‘mengetahui, memiliki, atau mengikuti tren terbaru’.  Ternyata di era millenial,  keren  bagi seorang anak muda Indonesia memiliki nuansa  yang sangat berbeda. Hal ini ditemukan oleh lembaga riset yang saya kelola, yaitu Youth Laboratory Indonesia. Melalui riset etnografis yang dilakukan secara intensif sejak tahun 2009, saya bersama Youth Laboratory Indonesia menemukan pemaknaan yang mendalam dari anak muda Indonesia terhadap berbagai tren popular global. Di mana anak muda kita cenderung untuk lebih reflektif dan bisa dibilang lebih religius dari generasi pendahulunya. Hal ini tentu terdengar sangat mengejutkan, terlebih lagi apabila dalam keseharian kita melihat perilaku mereka kian liberal dan sekuler. Akan tetapi, di balik itu, secara rahasia mereka mencari makna-makna spiritual. Dalam sebuah wawancara in depth yang pernah saya lakukan, seorang a

Pasar Santa: Eklusivitas-Inklusivitas Anak Muda Millenial?

Pada saat saya pertama kali terjun di lapangan untuk melakukan riset etnografis terhadap anak muda millenial pada tahun 2009, saya melibatkan beberapa mahasiswa magang untuk membantu saya secara teknis di lapangan. Salah satu diantara mahasiswa magang tersebut adalah Edu, seorang pemuda di awal usia 20 yang gemar terhadap fashion serta berstatus sebagai drummer sebuah band blues terkemuka. Ia memberi masukan kepada saya dengan mengatakan bahwa  ‘bagi anak muda Mas, prinsipnya makin susah kita masuk atau dapatkan, maka hal itu semakin tinggi values atau nilai keren-nya’ . Saya menerima saran Edu dan sejak saat itu saya selalu menggunakan perspektif Edu sebagai indikator keren atau tidaknya sebuah tren atau komunitas. Satu hal yang menarik saat ini adalah bahwa tesis “eklusivitas” dari Edu diuji oleh berbagai fenomena kekinian, diantaranya adalah sikap inklusif dari kaum ekslusif. Inklusivitas kaum Ekslusif Saat ini tengah muncul sebuah tren anak muda yang sangat menarik untuk ditel